Spiga

بسم الله الرحمن الرحيم "ولا تحسبن الذين قتلو في سبيل الله أموات بل أحياء عند ربهم يرزقون فرحين بما آتاهم الله من فضله ويسثبشرون بالذين لم يلحقوا بهم من خلفهم ألا خوف عليهم ولاهم يحزنون".النصر والتمكين للمؤمنين آمين

Referensi

Pemerintah Tarik Ulur RUU Peradilan Militer

Tersendatnya penuntasan RUU Peradilan Militer menunjukan masih kuatnya keinginan pemerintah memberikan hak istimewa terhadap militer. Pemerintah dinilai mengulur waktu, sehingga hampir 4 tahun pembahasan RUU ini tidak kunjung diselesaikan DPR.

Pendapat itu terungkap dalam diskusi membahas Peradilan Militer di gedung DPR, Jumat (19/12). Menurut Bhatara Ibnu Reza peneliti lembaga pemantau HAM Imparsial, Panitia Khusus RUU Peradilan Militer terjebak dalam skenario pemerintah tersebut.

Salah satu tarik ulur dalam pembahasan RUU ini, tampak dari kerasnya keinginan pemerintah menolak penyidikan kasus pidana yang dilakukan militer oleh polisi. "Dampak yang terjadi adalah, peradilan militer menikmati hak kedudukan yang luar biasa dalam hal-hal yang terkait dengan tindak pidana makar, yang sebenarnya berada di wilayah peradilan umum," kata Bhatara.

Donny Ardianto dari Perhimpunan Pendidikan Demokrasi menilai, elit militer adalah pihak yang paling keras menolak penyetaraan proses hukum personel militer dengan dengan masyarakat sipil dalam pengadilan umum. Sebab, hak tersangka prajurit berpangkat rendah, justru lebih terjamin jika diadili di peradilan umum. "Hak prajurit dalam undang-undang lama, sama sekali diabaikan," ujar Donny.

Dia menjelaskan, pada UU Peradilan Militer yang belum direvisi, prajurit berpangkat rendah tidak diizinkan memberi tahu keluarganya jika ditahan. Prajurit juga tidak boleh memilih pengacara sebagai pembela. "Hak prajurit lebih terjamin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," kata Donny.

Menurut Azlaini Ketua Panja RUU Peradilan Militer, lambannya pembahasan RUU ini karena pemerintah belum sepenuhnya menginginkan reformasi peradilan militer. Jika pemerintah setuju, militer yang melakukan tindak pidana umum diproses melalui mekanisme peradilan umum, penyidikan seharusnya dilakukan oleh polisi. Sebab, peradilan umum mengacu kepada KUHAP yang menunjuk polisi sebagai penyidik.

Namun Wakil Ketua Pansus RUU Peradilan Militer Azis Syamsuddin menilai, penyidik militer masih diperlukan. Sebab antara penyidik dan personel militer yang disidik terikat sumpah prajurit, yang akan mengontrol kelancaran penyidikan. Namun Azis tidak membantah pendapat, yang menyebutkan proses tersebut bertentangan dengan KUHAP . "Dalam sumpah prajurit ada hal-hal yang harus dipegang," ujar Azis.

Aziz mengusulkan adanya kompensasi waktu pelaksanaan RUU Peradilan Militer selama 2-3 tahun, untuk menunggu penyesuaian KUHAP. "Sambil menunggu perubahan KUHAP," katanya.

Menurut Ketua Pansus Andreas Pareira, kompensasi pelakasanaan RUU selama 2-3 tahun, harus dipertegas. Dia berharap, perdebatan ini selesai secepatnya. Sehingga, pada masa sidang DPR ke III periode 2008-2009, RUU Peradilan Militer sudah dapat disahkan. "Akhir masa sidang depan mestinya RUU ini selesai," ujar Andreas.

1 komentar:

  Anonim

14 Juli 2010 pukul 12.26

Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.