Pagi menjelang dhuha waktu Jogja setempat, sudah beberapa bulan di Jogja ada banyak cerita, ide dan gagasan didapat di sini. mulai, ide bisnis masa depan #ehm… dan ide makan malam dimana [berburu kuliner Jogja], tapi selalu yang dicari bukan gudeg atau angkringan tapi rumah makan padang mana yang belum di coba.. hehehe..
Jalan-jalan pagi -bahasa kerennya joging- di persawahan di Kota jogja Teringat filosofi minang, “Karatau madang di hulu – babuah babungo balun. Marantau anak bujang dahulu di rumah paguno balun”. Berfikir sejenak, apa saya ini di usir secara halus dari Kampung halaman saya? kesannya sebagai anak muda Minang boleh pulang kalo ketika sudah berguna -saja- bagi kampung, atau ini sebuah kalimat pelecut semangat untuk seorang perantau membuktikan kalau dia pulang berarti mendapatkan status “berguna/ bermanfaat” sedangkan kalau dia tidak pulang-pulang berarti belum perguna bahakan tidak berguna? miris sekali nasib perantau ini jika seperti itu. Hehe..!
Hmm.! Sebenarnya saya lebih suka dengan kalimat ini untuk para perantau, “baniah gadang indak di panyiangan – Benih besar tidak di penyiangan”. jika melihat analogi dari kalimat tersebut tentunya ini lebih bisa dan lebi100% mengandung kalimat motivasi menurut saya [takut di bilang sok tau]. Sebutir benih padi cukup sebentar saja di penyiangan selanjutnya setelah itu untuk bertumbuh menjadi lebih besar dan menghasilkan butir-butir padi yang bagus si benih harus di pindahkan ke lingkungan yg lebih besar tidak lagi di penyiangan.
Begitu pulalah perantau Minang seharusnya, setelah dia diberi bekal-bekal dasar untuk merantau di kampung halaman dia harus tumbuh besar di lingkungan yang lebih besar lagi di perantauan dan menjadi orang yang bermanfaat di sana. Layaknya benih yang sudah tumbuh menjadi padi tadi, semakin berisi semakin menunduk dan setelah cukup untuk dipanen dia memberikan manfaat dimanapun diaberada dan sebagain dari padi yang di panen kembali lagi ke kampung halaman [ red: penyiangan] sebagai benih-benih baru yang akan menjadi padi kembali untuk dipersiapkan meninggalkan penyiangan. Hal ini bisa juga kita pahami sebagai kaderisasi SDM Minang itu sendiri.
Ada yang bisa pulang ada yang harus pulang. Hatta, Tan Malaka dan kawan-kawan mungkin tidak pulang kampung seperti AA Navis tapi sama-sama memberikan manfaat dimanapun dia berada. Dan masyarakat adat minang sampai sekarang selalu menggadang-gadangkan ketika banyak kader-kader pemikir Minang bermanfaat bagi bangsa bahkan dunia Internasional. Ketika Filosofi minang –“baniah gadang indak di panyiangan – Benih besar tidak di penyiangan” lebih di kedepankan dari pada “Karatau madang di hulu – babuah babungo balun. Marantau anak bujang dahulu di rumah paguno balun”, rasanya seperti sebuah motivasi membangun peradaban dunia [mudah-mudahan tidak dibilang lebay]. Semoga saja, minimal dunia masing-masing jika belum bisa dunia dalam artian Dunia INternasional.