Spiga

بسم الله الرحمن الرحيم "ولا تحسبن الذين قتلو في سبيل الله أموات بل أحياء عند ربهم يرزقون فرحين بما آتاهم الله من فضله ويسثبشرون بالذين لم يلحقوا بهم من خلفهم ألا خوف عليهم ولاهم يحزنون".النصر والتمكين للمؤمنين آمين

Referensi

Yunani Kuno dan Minangkabau

Antara kehidupan Yunani Kuno dan Minangkabau, terdapat jarak waktu pemisah lebih dari duapuluh abad lamanya. Melihat pencapaian luar biasa dari bangsa Yunani Kuno, juga bukan hal yang setara untuk membandingkannya dengan Minangkabau yang hanyalah sebuah suku bangsa di antara duaratusan suku bangsa di Indonesia. Tetapi, jika melihat sejarah tokoh-tokoh pemikir terkemuka berikut warisan karya-karya pemikir dari kedua masyarakat ini, kita akan menemukan sesuatu yang relevan untuk dibandingkan.

Sama dengan sikap hidup individu orang Minangkabau, masyarakat Yunani Kuno menyukai kehidupan yang bebas dan merdeka. Selain itu, keduanya dikenal dengan masyarakat yang haus akan pengetahuan. Sebagian orang Yunani Kuno juga suka merantau. Namun, di sini mulai tampak perbedaan mereka dengan orang Minang.

Orang-orang Yunani Kuno pergi merantau karena sebagian besar tanah mereka gersang dan tandus. Dengan demikian, motif orang-orang Yunani Kuno pergi merantau semata-mata untuk ekonomi. Sementara bagi orang Minang, merantau bukan semata-mata untuk tujuan ekonomi, melainkan juga untuk belajar hidup, sebagaimana bisa kita lihat dari beberapa pepatah Minang.

Tanah di wilayah fisik-geografis orang Minang adalah tanah yang subur, karena memiliki lahan lapisan vulkanik yang luas dan memiliki bukit-bukit yang ditumbuhi tanaman lebat yang membuat bukit-bukit itu sebagai ”prasarana” irigasi alami bagi lahan pertanian di dataran rendah.

Dari sumber air yang berasal dari ruas pegunungan Bukit Barisan itu, bukan saja padi dan tanaman palawija yang tumbuh sehat, tetapi juga bermanfaat untuk membesarkan ternak hewan dan membudidayakan ikan air tawar. Bahkan, dengan sumber air yang datang dari pegunungan itu yang kemudian ditampung oleh Danau Maninjau dan Danau Singkarak, daerah ini menjadi tempat produksi listrik yang biaya produksinya hanya seperlima dari listrik yang diproduksi oleh sistem pembangkit batu bara ataupun gas.

Selain itu, sejalan dengan watak ekspansionis modal, beberapa sumber air alami di Sumbar itu pun menjadi sumber produksi air kemasan yang populer dengan nama air mineral.Di zaman Orde Baru, para penguasa pemerintahan di Sumbar, yang sering sekali mengklaim bertindak untuk dan atas nama masyarakat penganut kebudayaan Minangkabau, secara terang-terangan mengingkari kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan tadi. Mereka dengan tanpa beban mengatakan, ”Daerah kita miskin.

PAD kita kecil. Kita tidak punya minyak seperti Provinsi Riau atau deposit tambang lain seperti di Kalimantan atau Papua.” Ungkapan seperti ini tidak lain dimaksudkan untuk mengajak masyarakat mendukung Pemda meminta ”kemurahan hati” Pemerintah Pusat agar mengucurkan dana lebih besar untuk Sumbar. Karena itu pula, masyarakat Sumbar harus menunjukkan dukungan yang besar kepada Golkar yang ketika itu merupakan alat hegemoni kekuasaan Pemerintah Pusat.

Begitulah cara elite-elite politik Sumbar di zaman Orba memandang kekayaan alam Sumbar. Arti kekayaan alam pun dipersempit menjadi ketersediaan deposit tambang sambil menutup mata terhadap harta yang luar biasa nilai potensinya, seperti perbukitan, gunung-gunung, sungai-sungai, danau-danau dan pantai-pantai yang memberikan akses mudah untuk memanfaatkan sumber-sumber alam di atas dan di dalamnya.

Padahal, pengukuran kekayaan harus dimulai dengan kemudahan mendapatkan barang-barang dan jasa kebutuhan pokok, mulai dari makanan, pakaian, pendidikan, dan kesehatan? Kalau di daerah-daerah lain masyarakatnya membutuhkan usaha yang panjang dan modal lebih besar untuk mendapatkannya, sementara di Sumbar secara rata-rata lebih mudah, bukankah berarti itu kekayaan Sumbar?

Merantau yang bukan semata-mata karena dorongan kelangkaan kekayaan lokal bagi masyarakat Sumbar tadi seharusnya menambah modal untuk membuat masyarakat yang menetap di Sumbar lebih makmur sejahtera dibanding rata-rata daerah di Indonesia. Dengan kesejahteraan itu pula Sumbar seharusnya berkembang sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan karena bisa menjadi sumber insentif bagi para tokoh intelektualnya untuk terus berkarya di tanah asalnya sendiri seperti yang terjadi pada kaum intelektual Yunani Kuno.

Tetapi, di sinilah letak perbedaan lain antara Minangkabau dan Yunani Kuno. Kaum pemikir Yunani Kuno tidak perlu pergi merantau untuk menghasilkan karya-karya ilmu pengetahuan mereka. Sementara calon-calon intelektual Minang, harus merantau untuk menjadi pemikir kelas nasional atau internasional, baik untuk mendapatkan sumber-sumber pengetahuan baru maupun untuk menjadikan ilmunya bisa digunakan oleh masyarakat. Akibatnya, di Minangkabau sendiri tidak pernah lahir temuan-temuan penting atau gagasan-gagasan filosofis yang besar.

Sebaliknya, para pemikir Yunani Kuno cukup menyerap pengetahuan yang berasal dari Mesir Kuno dan Babylonia, yang dibawa para pedagang dari kedua negeri tersebut. Pengetahuan dari luar tersebut menjadi bahan untuk diolah dan dikembangkan lebih lanjut di tanah Yunani Kuno sendiri. Proses seperti itulah yang dilalui Anaximandros, Anaximenes, Phytagoras, Xenophanes, Anaxagoras, Gorcias, Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya.

Proses seperti itulah pula yang membuat lahirnya beberapa pengetahuan baru di Yunani Kuno yang menjadi dasar pengembangan ilmu dan peradaban Eropa, bahkan dunia. Para pemikir Yunani Kuno tadi adalah peletak dasar nilai-nilai kearifan dan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi kehidupan nyata masyarakat dunia berabad-abad hingga kini.

Dan, yang juga perlu dicatat, mereka bukan perantau yang menemukan nilai-nilai peradaban dan hukum-hukum ilmu pengetahuan di luar negeri leluhurnya, melainkan manusia-manusia yang membangkitkan masyarakat dan membangun monumen-monumen peradaban di negeri mereka sendiri yang gersang itu, sebelum karya-karya mereka itu menyebar pengaruhnya ke berbagai negeri luar.

Pertanyaan yang muncul dalam melihat ”proses menjadi” para pemikir Minang adalah, dengan karakter yang sama-sama suka berpikir dan suka hidup merdeka serta sama-sama haus pengetahuan dengan masyarakat Yunani Kuno, mengapa masyarakat Minang tidak melahirkan sebagian tokoh-tokoh intelektualnya di tanahnya sendiri?

Jawaban valid atas pertanyaan di atas tentu tidak mudah disodorkan secepatnya. Tetapi, melihat potret saat ini dan kondisi sebelumnya, jangan-jangan jawaban itu kita temukan bersamaan dengan perbedaan berikutnya antara masyarakat Yunani Kuno dan Minangkabau. Masyarakat Yunani Kuno memberikan penghormatan yang tinggi kepada para pemikir dengan menempatkan mereka hanya sedikit di bawah dewa-dewa mereka. Karya-karya mereka dan ucapan-ucapan mereka begitu didengar oleh masyarakat.

Sementara, di Minangkabau, bisa jadi para pemikir kurang dihormati dibanding para penguasa, politisi dan pengusaha, terlebih dengan mereka yang menyandang dua status dari dari tiga status itu sekaligus. Setidak-tidaknya suasana ini terasa sejak Orde Baru hingga sekarang, di mana sumber kebenaran lebih banyak dipercayakan kepada penguasa, politisi dan pengusaha, sebagaimana tampak dalam perlakuan-perlakuan yang diberikan pada acara seremonial, di media massa maupun di tempat-tempat umum. Mudah-mudahan jawaban sementara saya ini keliru. Mohon maaf lahir dan bathin!

Andrinof A Chaniago
*Penulis adalah Pengajar di Universitas Indonesia

0 komentar: